Bila Koas dan Dokter bertukar cerita tentang
keseharian hidup dan permasalahan yang digeluti, akan sangat menarik mendapati
bahwa disana juga terdapat beraneka ragam narasi, ironi, kelucuan, kegembiraan,
kesedihan dan tentu saja hikmah kehidupan.


Para dokter dari yang masih pendidikan di rumah sakit hingga yang terdampar di pelosok
kepulauan Indonesia, adalah terdiri dari beraneka ragam kepribadian dan kelemahan-kelemahan manusiawi. Meski begitu, karya mereka dituntut berkualitas sesempurna buatan dewata, berpolah sehalus bidadari dan beretika nabi-nabi.


Nun dekat maupun jauh di pelosok sana, di hamparan puak-puak, suku-suku dan manusia modern kota besar, berjejal insan-insan yang menanti bakti mereka.
Seperti petikan sebuah lagu banyolan dari masa plonco : di kota dan di desa, mengabdi bagiku sama saja

Maka kami dedikasikan blog ini sebagai tempat singgah maya bagi rekan sejawat untuk saling bertukar kisah dan pengalaman, bertukar informasi mengenai kondisi kesehatan anak bangsa di berbagai penjuru negeri, berbagi ilmu dan kebijaksanaan sekaligus tentu saja sebagai sarana silaturrahmi.

Hingga boleh suatu saat kita berkata, di dunia mayapun kami mengabdi.



Jumat, 17 Oktober 2008

Miskin

Saat ini makin banyak kulihat orang miskin berseliweran di penjuru kota. Warga miskin dari pelosok kampung berlomba-lomba menuju magnet kota berganti KTP menjadi warga miskin kota, kalaupun mereka punya KTP. Hal ini kurasakan sekali ketika bertugas di rumah-rumah sakit pemerintah. Mereka berdatangan tiada henti, seolah-olah tempat favorit mereka kalau bukan di jalanan ya di rumah sakit.

Hal ini tidaklah terlalu mengherankan. Seiring program pemerintah yang mengutamakan pendidikan dan kesehatan, maka akses mereka terhadap pelayanan kesehatan semakin diusahakan dipermudah. Meski gembar gembor keberpihakan pada warga miskin telah lama terdengar sejak pemerintahan yang lalu-lalu, baru beberapa tahun ini realisasi slogan-slogan itu mulai terlihat di depan mata.

Beberapa saat lalu pemerintah telah menghapus program Askeskin, yakni asuransi kesehatan buat masyarakat miskin yang ternyata menjadi lahan korupsi bagi pengelola yang terlibat. Sebagai ganti pemerintah menelurkan program JAMKESMAS (pemerintah pusat) dan JAMKESDA ( pemerintah daerah) yang tidak lagi diwakilkan pada suatu instansi tertentu seperti PT. ASKES pada askeskin yang lalu. Hal ini katanya untuk menghindari penyalahgunaan dana dan lebih luasnya jangkauan pelayanan kesehatan terhadap warga miskin kita. Menurut pantauanku yang tidak terlalu akurat ini,program ini sudah cukup banyak membantu warga, meski masih ada beberapa kekurangan yang bisa jadi bahan evaluasi kedepannya.

Beberapa kekurangan yang mata ini sempat meliriknya adalah seperti berbelit-belit dan ribetnya pengurusan berkas untuk mendapat keterangan sebagai orang miskin yang berhak atas jamkesmas/da. Syukur-syukur kalau si miskin cukup baik dalam berkomunikasi. Beberapa kudapatkan ada yang tidak pandai berbahasa Indonesia dan parahnya tidak bersanak lagi, home alone gitu deh ceritanya.

Yang seperti inilah yang sering membuat kita miris dalam merawat. Hendak diberikan tindakan kesehatan yang cepat namun terhalang administrasi. Karena pengambilan obat dan alat-alat serta izin rawat inap, semua membutuhkan surat-surat tanda miskin tersebut. Masalah ini disikapi beberapa senior kita di beberapa rumah sakit dengan menyiasati menyediakan semacam troli/tempat cadangan obat-obat dan peralatan kesehatan yang bisa diambil sewaktu-waktu bila ada kegawat daruratan yang membutuhkan pertolongan cepat pada pasien seperti tadi. Obat-obatan pertolongan pertama dan obat-obatan khusus sesuai spesialisasi mesti ada disana. Hal ini sangat menolong sekali menurutku dan bisa kita contoh bila kita telah bertugas nantinya, terutama di daerah perifer dimana ketersediaan obat dan alat sangat terbatas.

Kemudian cadangan obat untuk pasien Jamkesda dan jamkesmas ini sangat terbatas, tidak sebanding dengan jumlah kunjungan pasien. Demikian pula dengan alat-alat kesehatan. Tidak jarang, mereka tetap harus membeli obat dan peralatan, terutama obat-obatan tertentu yang memang tidak disubsidi. Yang kemudian menjadi permasalahan adalah kalau mereka benar-benar tidak mampu membeli maka solusinya bagaimana ?

Kekurangan lainnya yang sangat mengganggu adalah seringkali kujumpai pasien yang mengaku miskin ini, datang dengan surat-surat dan berkas miskin yang lengkap, selidik punya selidik ternyata punya kondisi ekonomi yang cukup baik. Nah mengapa hal ini bisa terjadi ?? tanyakan saja sama Pak lurah, rt, dan rw, Kata Ebiet G. Ade.

Namun di atas segalanya saya sangat berharap kita semua dapat memberikan yang terbaik dari diri kita terhadap pasien-pasien JPS ini. Meski status kita ini masih ada yang koas -yang entah sampai kapan berakhir- dengan wewenang yang masih sangat terbatas, tapi mudah-mudahan bisa kita abdikan wewenang itu dengan sebaik-baiknya. Karena merekalah guru sejati kita. Mengizinkan kita mengutak atik tubuh dan jiwa mereka yang sakit itu dengan ilmu kita yang belum seberapa ini. Memberikan harapan mereka pada diri kita yang dipanggilnya dottoro ini. Membagikan keluh kesah mereka yang selama ini hanya ada dalam versi 2 dimensinya saja dalam buku-buku kuliah kita.

Mereka ini apa adanya. Mereka ini kebanyakan polos. Kepolosan yang selalu menawan jiwa. Kepolosan yang juga jadi jarahan mereka-mereka yang serakah. Sayangilah mereka.

Indonesia ... makmurlah suatu saat nanti. (mudah-mudahan malaikat ada yang ikut mengamini, soalnya katanya lebih makbul). Salam