Bila kalimat sempat jeda, bukan karena perjalanan telah usai atau kehilangan kata-kata namun sering waktu terlalu terburu-buru untuk sekedar menyimak cerita. Maka kucoba kembali bertutur disini.
Masih tentang perjalanan, dari tanah nan elok Ambon, langkah kini menjejak tanah nan kaya Papua. Tanah yang dari ketinggian udara terlihat sebagai mutiara hijau yang memukau, di pagari sebaran pulau-pulau menghias permadani laut biru yang terhampar luas. Sebuah maha karya dengan keindahan surgawi.
Namun ingin kututurkan sebuah lagu lama, yang bernyanyi sendu tentang sebuah tragedi. Inilah kenyataannya, di sebuah tanah yang setiap jengkalnya adalah anugrah, anak- anak negeri menghabiskan hari dengan ironi.
Kekayaan alam tanah ini tak terbantahkan, di sini ladang berisi gas alam, membuat sumur untuk menguras minyak, menggali tanah untuk mengambil batu bara dan emas, hutannya penuh dengan kayu pilihan. Jangan tanya tentang lautnya, dengan posisi pada salah satu kaki segitiga karang dunia, membuatnya melimpah kekayaan dan keindahan. Pada tanah, air dan gasnya terdapat karunia yang tak habis-habis.
Tapi jangan heran, di sisi jalan dengan pipa berisi minyak dan gas yang membentang berpuluh-puluh kilometer, anak-anak negeri berjalan tanpa alas kaki, berpakaian tak selayaknya, bermandi debu yang diterbangkan oleh kendaraan orang orang pabrik lalu lalang.
Lalu, teringat pagi itu ketika langkah sejenak terhenti oleh sebuah bendera yang berkibar, di tengah pelosok, membuat tersadar, bahwa di sini berdera masih sama dengan warna bendera kita, merah dan putih sewarna darah dan tulang kita. Tak ada warna yang lain. Namun kibarnya tak segagah dengan kibar bendera di tanah lain di negeri ini, mungkinkah ini adalah isyarat atau sebuah bahasa yang lain akan ketidak mengertian kenapa masih ada beda antara tanah timur dan barat??. Wallahu alam.-nuas-
Papua, Oktober 2008
Masih tentang perjalanan, dari tanah nan elok Ambon, langkah kini menjejak tanah nan kaya Papua. Tanah yang dari ketinggian udara terlihat sebagai mutiara hijau yang memukau, di pagari sebaran pulau-pulau menghias permadani laut biru yang terhampar luas. Sebuah maha karya dengan keindahan surgawi.
Namun ingin kututurkan sebuah lagu lama, yang bernyanyi sendu tentang sebuah tragedi. Inilah kenyataannya, di sebuah tanah yang setiap jengkalnya adalah anugrah, anak- anak negeri menghabiskan hari dengan ironi.
Kekayaan alam tanah ini tak terbantahkan, di sini ladang berisi gas alam, membuat sumur untuk menguras minyak, menggali tanah untuk mengambil batu bara dan emas, hutannya penuh dengan kayu pilihan. Jangan tanya tentang lautnya, dengan posisi pada salah satu kaki segitiga karang dunia, membuatnya melimpah kekayaan dan keindahan. Pada tanah, air dan gasnya terdapat karunia yang tak habis-habis.
Tapi jangan heran, di sisi jalan dengan pipa berisi minyak dan gas yang membentang berpuluh-puluh kilometer, anak-anak negeri berjalan tanpa alas kaki, berpakaian tak selayaknya, bermandi debu yang diterbangkan oleh kendaraan orang orang pabrik lalu lalang.
Lalu, teringat pagi itu ketika langkah sejenak terhenti oleh sebuah bendera yang berkibar, di tengah pelosok, membuat tersadar, bahwa di sini berdera masih sama dengan warna bendera kita, merah dan putih sewarna darah dan tulang kita. Tak ada warna yang lain. Namun kibarnya tak segagah dengan kibar bendera di tanah lain di negeri ini, mungkinkah ini adalah isyarat atau sebuah bahasa yang lain akan ketidak mengertian kenapa masih ada beda antara tanah timur dan barat??. Wallahu alam.-nuas-
Papua, Oktober 2008