Bila Koas dan Dokter bertukar cerita tentang
keseharian hidup dan permasalahan yang digeluti, akan sangat menarik mendapati
bahwa disana juga terdapat beraneka ragam narasi, ironi, kelucuan, kegembiraan,
kesedihan dan tentu saja hikmah kehidupan.


Para dokter dari yang masih pendidikan di rumah sakit hingga yang terdampar di pelosok
kepulauan Indonesia, adalah terdiri dari beraneka ragam kepribadian dan kelemahan-kelemahan manusiawi. Meski begitu, karya mereka dituntut berkualitas sesempurna buatan dewata, berpolah sehalus bidadari dan beretika nabi-nabi.


Nun dekat maupun jauh di pelosok sana, di hamparan puak-puak, suku-suku dan manusia modern kota besar, berjejal insan-insan yang menanti bakti mereka.
Seperti petikan sebuah lagu banyolan dari masa plonco : di kota dan di desa, mengabdi bagiku sama saja

Maka kami dedikasikan blog ini sebagai tempat singgah maya bagi rekan sejawat untuk saling bertukar kisah dan pengalaman, bertukar informasi mengenai kondisi kesehatan anak bangsa di berbagai penjuru negeri, berbagi ilmu dan kebijaksanaan sekaligus tentu saja sebagai sarana silaturrahmi.

Hingga boleh suatu saat kita berkata, di dunia mayapun kami mengabdi.



Kamis, 04 Desember 2008

Serpihan Jejak


Bila kalimat sempat jeda, bukan karena perjalanan telah usai atau kehilangan kata-kata namun sering waktu terlalu terburu-buru untuk sekedar menyimak cerita. Maka kucoba kembali bertutur disini.

Masih tentang perjalanan, dari tanah nan elok Ambon, langkah kini menjejak tanah nan kaya Papua. Tanah yang dari ketinggian udara terlihat sebagai mutiara hijau yang memukau, di pagari sebaran pulau-pulau menghias permadani laut biru yang terhampar luas. Sebuah maha karya dengan keindahan surgawi.

Namun ingin kututurkan sebuah lagu lama, yang bernyanyi sendu tentang sebuah tragedi. Inilah kenyataannya, di sebuah tanah yang setiap jengkalnya adalah anugrah, anak- anak negeri menghabiskan hari dengan ironi.

Kekayaan alam tanah ini tak terbantahkan, di sini ladang berisi gas alam, membuat sumur untuk menguras minyak, menggali tanah untuk mengambil batu bara dan emas, hutannya penuh dengan kayu pilihan. Jangan tanya tentang lautnya, dengan posisi pada salah satu kaki segitiga karang dunia, membuatnya melimpah kekayaan dan keindahan. Pada tanah, air dan gasnya terdapat karunia yang tak habis-habis.

Tapi jangan heran, di sisi jalan dengan pipa berisi minyak dan gas yang membentang berpuluh-puluh kilometer, anak-anak negeri berjalan tanpa alas kaki, berpakaian tak selayaknya, bermandi debu yang diterbangkan oleh kendaraan orang orang pabrik lalu lalang.

Lalu, teringat pagi itu ketika langkah sejenak terhenti oleh sebuah bendera yang berkibar, di tengah pelosok, membuat tersadar, bahwa di sini berdera masih sama dengan warna bendera kita, merah dan putih sewarna darah dan tulang kita. Tak ada warna yang lain. Namun kibarnya tak segagah dengan kibar bendera di tanah lain di negeri ini, mungkinkah ini adalah isyarat atau sebuah bahasa yang lain akan ketidak mengertian kenapa masih ada beda antara tanah timur dan barat??. Wallahu alam.-nuas-

Papua, Oktober 2008