Bila Koas dan Dokter bertukar cerita tentang
keseharian hidup dan permasalahan yang digeluti, akan sangat menarik mendapati
bahwa disana juga terdapat beraneka ragam narasi, ironi, kelucuan, kegembiraan,
kesedihan dan tentu saja hikmah kehidupan.


Para dokter dari yang masih pendidikan di rumah sakit hingga yang terdampar di pelosok
kepulauan Indonesia, adalah terdiri dari beraneka ragam kepribadian dan kelemahan-kelemahan manusiawi. Meski begitu, karya mereka dituntut berkualitas sesempurna buatan dewata, berpolah sehalus bidadari dan beretika nabi-nabi.


Nun dekat maupun jauh di pelosok sana, di hamparan puak-puak, suku-suku dan manusia modern kota besar, berjejal insan-insan yang menanti bakti mereka.
Seperti petikan sebuah lagu banyolan dari masa plonco : di kota dan di desa, mengabdi bagiku sama saja

Maka kami dedikasikan blog ini sebagai tempat singgah maya bagi rekan sejawat untuk saling bertukar kisah dan pengalaman, bertukar informasi mengenai kondisi kesehatan anak bangsa di berbagai penjuru negeri, berbagi ilmu dan kebijaksanaan sekaligus tentu saja sebagai sarana silaturrahmi.

Hingga boleh suatu saat kita berkata, di dunia mayapun kami mengabdi.



Selasa, 09 Februari 2010

Catatan Perjalanan; Terhadang Pasukan Perang


Unik dan sedikit menegangkan pengalaman hari ini, pagi-pagi dalam perjalanan mobile clinic. Sepanjang jalan dekat sebuah wilayah menok (sebutan untuk masyarakat pribumi) suku Dani, orang-orang berkumpul, tak biasanya seperti ini. Sesaat kemudian mulai terlihat di sebuah perempatan, jalan terpalang yang di jaga petugas keamanan. Semakin dekat baru kemudian tersadar bahwa keadaan sedang tegang. Satu pasukan suku Dani lengkap dengan senjata panah sedang bersiap-siap untuk perang. Kepala suku sedang berorasi membakar semangat pasukannya. Ini pertama kali saya menyaksikan momen “heroik” seperti ini. Diikuti ritual mengaitkan jari tangan, entahlah mungkin itu sebagai simbol kesetiaan bertarung sampai akhir.

Dengan memberanikan diri, saya dan seorang kawan berjalan mendekat menuju pasukan siap tempur itu, berharap ada peluang untuk memperoleh bantuan aparat untuk lewat. Namun sepertinya aparat berkonsentrasi melakukan negosiasi dengan para sesepuh suku. Beruntung kemudian seseorang mendekati kami, lelaki tua dengan sebuah badik panjang, yang rupanya seorang pasien yang pernah kami tangani. Beliau yang kemudian langsung berbicara kepada panglima pasukan dan seorang tokoh suku bahwa kami adalah tim medis yang sedang bertugas yang akhirnya memberikan kami jaminan untuk melalui palang batas yang terpasang. Tak buang waktu kami segera berlalu sebelum mereka berubah pikiran, serta masih tersisa rasa khawatir kalau saja ada anak panah yang tiba-tiba tersesat salah alamat.

Saya teringat film-film kolosal zaman Troya atau kisah ksatria sahabat Rasul berabad-abad yang lalu. Pasukan itu terlihat begitu bersahaja memanggul panah-panah dan tombak. Sementara di luar sana, orang-orang telah ramai meributkan bom nuklir, senjata kimia dan biologis, bom curah dan rudal balistik interkontinental. Apakah saya tersedot lorong waktu menuju zaman berabad-abad yang lampau? Tapi pada kenyataannya saya benar-benar hadir di hari ini. Ada peradaban yang dikhianati waktu disini ditinggalkan dalam kebersahajaan yang paling melarat.

Namun satu yang membuat saya salut pada mereka, meskipun terlihat masih begitu primitif tapi mereka ternyata masih mempunyai komitmen dan penghargaan pada kemanusiaan. Buktinya mereka membolehkan kami sebagai tim medis melewati perbatasannya tanpa gangguan. Suatu hal yang sangat berbeda apa yang telah dilakukan sang bedebah Izrael yang terkenal mempunyai kehebatan dan kecanggihan sumber daya itu. Malah menghalangi serta menembaki para relawan kemanusiaan di perbatasan. Suatu tindakan tak beradab serta merupakan bentuk karakter primitive yang asli. Hingga saya bertanya, siapakah sebenarnya yang primitif?

Timika, Jumat 5 Juni 2009

Jazirah Raja-Raja: Mengenang Kembali


Hari yang luar biasa, ketika senja merapat dihantar rintik satu-satu, cahaya mentari yang sedang condong bersepakat dengan titik halus gerimis menghadiahi anak-anak pulau dengan sebuah pesona tak bercela, sebentuk pelangi. Sungguh mengagumkan sore itu, dari kejauhan di Pulau Tiga tampak lengkungan warna-warni memeluk negeri para raja-raja, Jazirah Leihitu Ambon.

Tiba-tiba terkenang lagi, ketika seorang kawan mengabarkan bahwa hari ini ia akan bertolak kembali ke kota itu, Ambon. Dan ingin kupenuhi janji padanya untuk menuliskan sedikit kenangan tentang tanah itu. Pengalaman pertama selalu berkesan, itulah sebabnya begitu banyak kenangan di sana. Tanah yang pertama kali manadah kerja dan pengabdian yang tentu tak seberapa, tanah yang mengajarkan pelajaran-pelajaran kehidupan. Tanah yang menyuguhkan pesona budaya dan keindahan alam.

Kuteguhkan langkah untuk memulai perjalanan waktu itu. Dan tepat ketika matahari menjenguk pagi, keemasan cahaya di ketinggian langit saat terlihat pertama kali tanah itu dari udara, sebuah tanah yang hijau di kawal pulau-pulau dibingkai garis putih pasir pantai disekelilingnya. Ini menjadi awal kekaguman yang tak pernah selesai akan keindahan tanah itu. Bila siang hari , dari bukit-bukit Batu Merah terlihat tak jauh di bawah sana teluk Ambon yang tenang, bila malam tiba, anak-anak disini seolah bisa memetik rembulan, Juga tampak Kuda Mati seperti pohon natal raksasa, setiap malam seperti ada pesta di depan Al-fatah dan Ai Paty, semua tersaji dari suwami (penganan dari ubi yang dihaluskan dan di kukus) dan ikan asar sampai gelang besi putih serta minyak wangi digelar hingga larut.

Berjalan ke utara melintas di Durian Patah melewati jalan berkelok di puncaknya terlihat tanah besar diseberang, Pulau Seram. Bersua dengan negeri raja-raja dan para kapitan, bejejer-jejer di sini kampung-kampung tua dengan adat yang masih dipegang teguh, tersebutlah Jazirah Leihitu yang masyhur itu; Negeri Mamala, Morela, Hitu, Wakal, Hila, Negeri Lima, Ureng, Asilulu, dan yang lainnya. Negeri pesisir yang mempesona, diatasnya punggung bukit dengan pohon Pala berbaris-baris, sementara di sisinya yang lain, nyiur melambai-lambai dirayu angin dan belaian ombak. Pengaruh budaya Islam kuat terasa di sini, dari rumah tua lating batu dan lating gaba-gaba terdengar semarak suara rebana bernuansa timur tengah diiringi anak-anak berlatih tarian zamrah. Sebuah Mesjid Tua mungil nan kharismatik yang menjadi situs bersejarah di bangun tahun 1414 M, menuturkan Islam telah begitu lama hadir di nusantara.

Dan sebuah kesan yang begitu kuat dari perjalanan di tanah ini, adalah tentang gelora dan semangat yang unik. Masih segar dalam ingatan tentang peristiwa konflik bernuansa sara empat tahun lamanya, menjadi pelajaran berharga bagi orang-orangnya. Inilah yang terasa amat kuat, saat berinteraksi dengan mereka, para pelaku aksi-aksi kemuliaan, pembela izzah dan kehormatan darah serta iman. Sekian banyak dari mereka anak muda hingga para sepuh bersepakat, bahwa peristiwa berdarah itu adalah kemuliaan bagi tanah mereka, terpilih sebagai bumi jihad. Hari-hari yang panas itu telah mendidik mereka menjadi pemberani yang sesungguhnya. Mereka menertawakan kepengecutan sebagaimana jiwa khianat dikubur mati tanpa syarat. Hari itu cuma satu kalimat; isy kariman au mut syahidan (hidup dalam kemuliaan atau mati sebagai syuhada)

Maka ku sempatkan hadir juga, berdiri takzim di depan pusara para syuhada, ditemani para sahabat yang bertutur tentang nostalgia hari itu, saat barisan bershaf-shaf seperti benteng yang kokoh, saat takbir, tilawah dan dzikir susul meyusul dengan dentuman bom dan nyayian peluru. Tutur yang begitu bertenaga dan mengetarkan, tentang persaudaraan, tentang wangi darah, tentang takdir dan pertolongan Tuhan, tentang kematian yang indah. Berkali-kali kemudian hadir kembali ditempat itu, bersama sahabat-sahabat yang sama, mereka telah menitipkan sebuah pelajaran berharga, mengajarkan untuk tak lagi canggung untuk meminang cita-cita dalam doa; (Allahummarzuqna asy syahaadata fii sabiilika – Ya Allah karuniakanlah kepada kami syahid di Jalan-Mu)...Amin.

Papua, Mei 2009

- Salam buat kru klinik MER-C Ambon dan para ikhwah - Salam buat dr A. Tasrif dan kelurga serta kawan-kawan semua di RS Al-Fatah Ambon. - Salam buat dr Caki, dr Ika, dr Novi