Bila Koas dan Dokter bertukar cerita tentang
keseharian hidup dan permasalahan yang digeluti, akan sangat menarik mendapati
bahwa disana juga terdapat beraneka ragam narasi, ironi, kelucuan, kegembiraan,
kesedihan dan tentu saja hikmah kehidupan.


Para dokter dari yang masih pendidikan di rumah sakit hingga yang terdampar di pelosok
kepulauan Indonesia, adalah terdiri dari beraneka ragam kepribadian dan kelemahan-kelemahan manusiawi. Meski begitu, karya mereka dituntut berkualitas sesempurna buatan dewata, berpolah sehalus bidadari dan beretika nabi-nabi.


Nun dekat maupun jauh di pelosok sana, di hamparan puak-puak, suku-suku dan manusia modern kota besar, berjejal insan-insan yang menanti bakti mereka.
Seperti petikan sebuah lagu banyolan dari masa plonco : di kota dan di desa, mengabdi bagiku sama saja

Maka kami dedikasikan blog ini sebagai tempat singgah maya bagi rekan sejawat untuk saling bertukar kisah dan pengalaman, bertukar informasi mengenai kondisi kesehatan anak bangsa di berbagai penjuru negeri, berbagi ilmu dan kebijaksanaan sekaligus tentu saja sebagai sarana silaturrahmi.

Hingga boleh suatu saat kita berkata, di dunia mayapun kami mengabdi.



Kamis, 18 Maret 2010

Mengenang Lima Tahun Bencana Tsunami Aceh


Lima tahun adalah jarak yang relatif cukup panjang untuk sebuah kenangan, namun tetap saja, bila ia hadir kembali, terasa segala kenangan itu seperti masih sangat basah, sebasah tanah yang belum kering dibasuh tsunami atau basah aroma kesedihan yang menggenang kuat ketika tiba pertama kali ke tanah itu.

Perjalanan ke Aceh pasca tsunami lebih dari sebuah perjalanan biasa, ini adalah perjalanan spiritual secara pribadi, ada banyak pelajaran dan hikmah dari peristiwa maha dahsyat itu. Tak ada hati yang tak bergetar menyaksikan keadaan di sana kecuali hati itu benar-benar telah mati. Ini tentang ke dahsyatan kekuatan Tuhan, tentang keteguhan jiwa, juga tentang persaudaraan yang dibuktikan.

Bertanya pada anak-anak Aceh sedahsyat apa ketika petaka itu datang, cukuplah rasanya mereka mewakilkan kalimatnya, “ kami mengira pagi itu kiamat telah tiba”. Setelah tanah bergoyang kemudian sapuan gelombang tsunami tiba-tiba datang tanpa permisi, sekejap saja dalam gemuruh yang mengejutkan, pokok-pokok kayu patah, tiang-tiang sepakat bersujud, rumah dan gedung rata hanyut pergi jauh, jembatan rubuh dan menara-menara jatuh terpilin, siapakah yang lebih kuat dari itu. Setelah itu semua kemudian tersentak lagi pada kenyataan yang memilukan. Pada kehilangan yang dalam, saat semua pergi begitu cepat, hanya sekejap bahkan tak ada yang sempat berpamitan. Melihat sisa-sisa kejadian itu, bergetar dan mengakui ini hanyalah pekejaan Tuhan, kekuatan dahsyat yang tak tertandingkan.

Peristiwa ini Juga bertutur akan keteguhan jiwa, tentang kehilangan yang amat menguncang. Bapak yang ditinggalkan cinta dan kebanggaannya, sang istri dan anak-anaknya sekaligus, ibu yang kehilangan buah hatinya, dan anak yang bertahan dalam kesunyian hidupnya yang tiba-tiba karena ibu bapaknya pergi bersama tsunami entah kemana. Terkenanglah suatu sore di camp pengungsi Aceh Besar Gue gajah, ketika bertemu dengan seorang bapak yang berusaha memenangkan kesabaran dan berkuat untuk merapikan kembali sisa-sisa harapannya, saat tiba-tiba seluruh anggota keluarganya hilang, istri dan anak-anaknya, serta semua harta kepunyaanya, kemudian tersisa hanya ia sendiri. Ia memang lebih banyak diam, tapi ia juga tak ingin larut dalam kesedihan yang berlebih. Dan sang bapak tak menyerah, ia tak ingin rasa putus asa mengalahkan harapan dan imannya. Entah apakah kita sanggup sekuat itu?

Masih di tempat yang sama saat berbincang dengan seorang ibu, ia mengenang lagi, pagi itu ia sedang ke pasar membawa jajanan pisang gorengnya, ketika peristiwa itu terjadi dan semuanya berlangsung dengan sangat cepat, tiba-tiba, panik dan kacau balau, kemudian keajaibanlah yang membuat ia akhirnya bisa selamat dari amukan sang gelombang. Setelah itu tak pernah ia berjumpa lagi dengan anak-anaknya, dua minggu setelah tsunami waktu kami berbincang-bincang, setiap hari ia masih terus mencari-cari kabar dan tetap berharap ada berita baik yang membawa pesan tentang anak-anaknya. Meski kabar itu tak kunjung datang, namun ia tetap bersabar bahkan ia masih mampu meneguhkan dirinya, bahwa ia harus kuat, bukan hanya dirinya bahwa ada banyak yang lain sepertinya, masih lekat bagaimana ibu itu kemudian tersenyum diakhir penuturannya, justru sayalah yang menangis mendengar tuturnya yang menggetarkan. Mereka sungguh kuat.

Bahwa kemudian ada satu dua yang terpuruk dalam kesedihan, menyerah pada nasib, namun kenyataannya mereka dominan adalah orang-orang yang teguh meninggikan keyakinan. Sungguh percaya akan kebiksanaan Allah pada setiap keputusan-Nya. Berserah sepenuhnya pada rencana-Nya. Di sinilah sebuah kenyataan dimana kesabaran menemukan orang-orangnya.

Dan tak sekedar itu, bahwa peristiwa ini telah membangkitkan solidaritas kemanusiaan yang sungguh mengagumkan, mungkin belum pernah semangat persaudaraan tersentak sedemikian kuat dan begitu massif di negeri ini dari ujung negeri terjauh sampai di pelosok, bantuan mengalir begitu ringan, tanpa pikir panjang, dan tak dibatasi lagi oleh sekat suku, agama, dan warna kepentingan. Sampai kemudian bantuan menumpuk hingga berbulan-bulan di posko dan pelabuhan akibat begitu banyak bantuan yang terkumpul. Demikian juga relawan yang datang mencurahkan apa yang bisa diberikannya, dengan segala macam spesifikasi dan spesialisasinya. Jadilah kota-kota di Aceh saat itu seperti kota relawan, setiap arah kita memandang hampir selalu saja ada relawan berdiri di situ. Bila peristiwa ini adalah ujian akan ikatan dan rasa persaudaraan kita, artinya kita telah berhasil melampaui ujian dan membuktikan rasa itu, satu rasa satu penanggungan.

Demikianlah lima tahun telah berlalu namun setiap kenangan pada hari-hari itu masih saja terasa begitu dekat. Pada bocah-bocah bermata riang di tenda-tenda pengungsian yang belum mengerti sepenuhnya apa yang terjadi ketika berpesan dikirimkan baju pramuka saat kami berpamitan akan pulang, juga pada seorang ibu yang mohon dihadiahi sebuah nama untuk bayinya yang lahir dibawah tenda yang sungguh tak layak. Atau pada kenangan saat hadir berdiri di sisi pantai Lokh nga di sebuah pagi yang pilu, berdiri di antara reruntuhan dan jenazah yang belum dikubur. Angin di sana hening, entah ia turut bersedih atau mungkin juga hanya mengalun pelan berzdikir, bertasbih membelai pohon dan tiang-tiang yang rubuh bersujud mengalah. Dan pada semua ‘kekalahan’ itu terbaca terang kalimat Tuhan, bahwa sungguh tak ada yang berhak merasa besar selain-Nya, dan hanya kepada-Nya lah berserah dan kembali segala sesuatu.

“Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri ataupun terpaksa…” ( Al qur`an Surah Ar- Ra’d : 15)

Dan kini lima tahun pasca Tsunami, semoga Aceh kita telah jaya kembali.-n


“Sesungguhnya orang yang benar-benar percaya kepada ayat-ayat Kami adalah mereka yang apabila diperingatkan dengan ayat-ayat itu mereka segera bersujud seraya bertasbih dan memuji Rabbnya, dan lagi pula mereka tidaklah sombong.” (Al qur`an Surah As-Sajdah : 15)


Banggai, Awal Januari 2010.