Bila Koas dan Dokter bertukar cerita tentang
keseharian hidup dan permasalahan yang digeluti, akan sangat menarik mendapati
bahwa disana juga terdapat beraneka ragam narasi, ironi, kelucuan, kegembiraan,
kesedihan dan tentu saja hikmah kehidupan.


Para dokter dari yang masih pendidikan di rumah sakit hingga yang terdampar di pelosok
kepulauan Indonesia, adalah terdiri dari beraneka ragam kepribadian dan kelemahan-kelemahan manusiawi. Meski begitu, karya mereka dituntut berkualitas sesempurna buatan dewata, berpolah sehalus bidadari dan beretika nabi-nabi.


Nun dekat maupun jauh di pelosok sana, di hamparan puak-puak, suku-suku dan manusia modern kota besar, berjejal insan-insan yang menanti bakti mereka.
Seperti petikan sebuah lagu banyolan dari masa plonco : di kota dan di desa, mengabdi bagiku sama saja

Maka kami dedikasikan blog ini sebagai tempat singgah maya bagi rekan sejawat untuk saling bertukar kisah dan pengalaman, bertukar informasi mengenai kondisi kesehatan anak bangsa di berbagai penjuru negeri, berbagi ilmu dan kebijaksanaan sekaligus tentu saja sebagai sarana silaturrahmi.

Hingga boleh suatu saat kita berkata, di dunia mayapun kami mengabdi.



Senin, 13 September 2010

Berangkatlah...


Berangkatlah kawan…jangan berdiam lebih lama, jejaki tanah-tanah yang jauh, di tanah yang asing, tempat yang bahkan namanya tak pernah kita bayangkan sebelumnya. Jangan berikan rasa ragu pada langkah itu, bebaskan ia mengalir, seperti arus yang merindukan lautan, bergerak tak gamang dan tanpa rasa takut.


Tak perlulah khawatir, sebab di sana teriknya tak berbeda dengan hangat mentari yang menggantung di langit kita setiap hari di sini, angin dan badainya akan menjadi kenangan suka duka mengharukan yang akan membuatmu menjadi lebih kuat, orang-orangnya akan menjadi sahabat dan saudaramu yang baru, tempat berbagi dan menyerap pelajaran tentang makna persaudaraan.



Lalu bagaimana dengan kerinduan, kepada orang-orang tercinta, orang tua, guru, para sahabat, atau siapapun mereka yang telah mengambil tempat di hati terdalam? Satu dua hari mungkin ia akan mengganggumu, ini memang sangat manusiawi kawan. Tapi berikutnya engkau akan terbangun pada sebuah pagi dengan tekad yang sadar bahwa karya harus segera di mulai. Dan setelah itu kerinduanmu akan berubah menjadi doa-doa yang kuat. Menjelma menjadi nyala yang membakar semangatmu.



Di perjalanan itu akan engkau temukan saripati kehidupan, ketika hadir pada kenyataan hidup yang sesungguhnya, melihat sendiri, mendengarkan sendiri, dan ikut merasakan sendiri tanpa perantara sebagaimana apa yang mereka rasakan, larut bersama mereka yaitu orang-orang yang paling berhak atas amanat yang tersemat di pundak kita. Akan engkau temukan bahwa hidup ini jauh lebih pelik dari yang pernah dibicarakan buku-buku teks terlengkap sekalipun.



Dan jangan lupa gembirailah persinggahan-persinggahanmu, pada riak gelombang, pundak-pundak bukit sampai ceruk sungai yang jauh, ataukah jalan yang mengular di padang sabana yang luas, nikmati semua, dan temukan hikmah di sana, di setiak jejakmu, pada tanah, laut, angin atau orang-orangnya, temukan padanya makna bersayap-sayap yang akan membawamu semakin meninggi ke maqam kearifan.

Bergeraklah untuk merebut mimpi dan menggenapkan serpihan takdirmu, sekaligus membumikan ilmu dan pengabdian, di perjalanan itu engkau juga pada akhirnya akan mengerti bahwa salah satu pintu memasuki kebahagiaan hidup yaitu melalui ketulusan berbagi dan memberi. Bahwa kebahagiaan adalah apa yang kita rasakan di dalam diri ketika bisa membuat orang lain berbahagia.



Lalu dari tempat-tempat yang jauh itu, engkau pun akan membagi cerita tentang pengalaman, tentang semangat dan idealisme yang tak boleh surut, atau tentang apa saja yang akan menjadi saksi bahwa di bawah matahari selalu ada anak muda yang siap mengabdi untuk kemanusiaan.-n



*Untuk seorang kawan yang segera memulai jalan pengabdiaanya di sebuah kota di timur tenggara, Manggarai NTT. Salama’ki dottoro

Rabu, 14 Juli 2010

Pohon Di Tepi Jalan


Aku ingin seperti pohon di tepi jalan, tumbuh ia dari benih unggulan, berasal dari hutan yg jauh, bijinya diterbangkan oleh burung pengelana, lalu jatuh ke semak tak bertuan, pada sebuah tanah yg dipilihkan Tuhan. Beranjak besar ia oleh asuhan alam, diguyur hujan dan di panggang matahari, musim telah membimbingnya menjadi kuat, akarnya menukik ke pusat gravitasi, batangnya kokoh seperti pilar istana, dahan rantingnya layaknya tangan-tangan yang berdoa gemulai menghadap ke langit. Sekali dua kali ia patah, namun ia tak menyerah, berganti dahan yang lebih indah dan lebih kuat. Daun-daunnya rimbun bergoyang seperti bernyanyi, lebih tepatnya berdzikir; bertasbih memuji.

Aku ingin seperti pohon di tepi jalan, bebas berdiri berdamai dengan kehidupan, menghirup udara yang bersih, menghisap air dan saripati yang suci. Merdeka tanpa seteru dan sengketa. Bersahabat dengan siapa saja. Bila hujan datang ia tahu bahwa itu sumber kebaikan, bila kemarau tiba ia sadar itu kesempatan untuk belajar bertahan, bila badai berkunjung ia mengerti alam hendak mengajarnya menjadi kuat, bila petir menyambar ia paham saatnya belajar tentang keteguhan dan keberanian. Bahwa setiap kehendak Tuhan datang dengan sebuah alasan, datang untuk membawa kebaikan.

Aku ingin seperti pohon di tepi jalan, bersyukur dan berbahagia atas kehidupan. Senang bila burung berkunjung, gembira bila musafir berteduh, tak mengusik serangga yang membuat sarang pada rantingnya. Hadir ia untuk memberi manfaat yang sebanyak-banyaknya bagi kehidupan. Akar dan kulitnya adalah obat, dahan dan rantingnya serba guna, daunnya menjadi pabrik oksigen yg begitu penting, bunganya adalah hiasan, juga buahnya lezat bukan mainan. Bahkan bila mati pun ia kembali menjadi pupuk bagi alam. Ia adalah sumber inspirasi kebaikan.

Aku ingin seperti pesan ayahanda Abu Bakar As Siddiq; " Hiduplah engkau seperti pohon yg tumbuh di tepi jalan, dilempari ia dengan batu, lalu dibalasnya dengan buah." Bagaimana denganmu kawan?-n

Senin, 10 Mei 2010

Catatan Anak Asrama; Selamat Datang Bang...


Ini hanyalah catatan lepas tentang seorang laki-laki yang telah bersahabat dengan kerasnya tempaan kehidupan, yang masa kecilnya dihabiskan bermain diantara padang dan ilalang tanah Bima, beranjak besar diantara sawah dan ladang bawang yang menghijau. Berteman dan berlarian bersama kuda-kuda liar Sumbawa. Kisah hidupnya adalah perjalanan yang mengharukan, narasi tentang perjuangan dan semangat hidup yang sangat mengagumkan, tak mudah patah dan tak mengenal kata mengeluh. Hingga saya berpikir sungguh layak suatu waktu kelak memuat perjalanan hidupnya dalam sebuah buku.
Saya mulai mengenalnya dengan dekat ketika bergabung menjadi warga Asrama Medica, seorang laki-laki berperawakan kecil dengan warna kulit coklat menjelang gelap, di awal masuk asrama hampir tak pernah lepas memakai sarung merah jambu motif kotak-kotak khas Bima, bertelanjang dada dan sangat gemar berteriak dengan suara khas yang sangat terkenal di asrama. Yang entah berapa lama kemudian berubah penampilan menjadi laki-laki yang sangat santun dalam berpakaian, berkemeja rapi yang ujung dimasukkan ke dalam celana, digenapkan dengan kacamata minus dan sepatu kulit di semir halus, mungkin ingin menjiwai penampilan layaknya anak kedokteran sejati.
Laki-laki yang kemudian bagi saya tak hanya menjadi seorang teman asrama, tapi sekaligus menjadi sahabat, saudara bahkan tempat berguru tentang banyak hal. Walau tak pernah menjadi teman satu kamar namun sangat sering tidur berbagi bantal dan kasur dengannya. Sekian tahun bersamanya, suka duka, canda tawa dan teriakan khasnya, dan juga petuah-petuahnya saat berdiskusi dan juga bersenda gurau adalah kenangan indah yang selalu lekat dan tak terlupakan. Sedih adalah perasaan waktu itu, ketika ia harus pulang ke kotanya, di sebuah pulau yang jauh di bagian timur tenggara nusantara. Menyempurnakan pengabdian di sana, di tanah lahirnya.
Lama tak terdengar berita, ketika tugas memintanya mengabdi di pelosok yang jauh, di bawah bayang-bayang gunung Tambora yang legendaris itu. Seperti tertelan kesunyian di sana, tempat yang tak terjangkau signal-signal telekomunkasi mutakhir. Walau sempat kemudian terdengar kabar bahwa tempat tugasnya di amuk gempa dan rumah dinasnya ikut rubuh, tapi ia tak ingin berajak dari tempat itu meski tim evakuasi telah tiba, ia memilih untuk bertahan membantu sebisanya para korban yang tersisa.Ternyata Ia masih keras kepala seperti yang dulu, lelaki berperawakan kecil dengan semangat menolong sebesar gunung.
Ini mengingatkan pada sebuah ekspedisi pada bencana longsor dan banjir di Sinjai Sulawesi selatan tahun 2006 yang silam dibawah bendera PKPU. Menyusuri pegunungan Sinjai barat mendekati perbatasan Gowa berjalan kaki melewati reruntuhan longsor sekian hari tanpa perlengkapan memadai dan makanan yang cukup, perjalanan yang berat dan berisiko dipandu tim SAR Sinjai, menolong dan mengevakuasi korban yang paling jauh dan belum tersentuh pertolongan medis sama sekali, Ia lah salah satu anggota tim yang paling tangguh, dengan semangat yang meluap-luap. Semakin berat medannya semakin tertantang ia untuk mengalahkannya. Ia memang laki-laki bersahaja yang tak kenal kata menyerah.
Dalam banyak hal, saya masih saja mengaguminya, meski kini ia jauh dan dan tak pernah bersua lagi. Sampai tiba-tiba namanya muncul di facebook, seperti salah satu kegilaannya di asrama yakni sering diam-diam muncul dari jendela pada tengah malam lalu tiba-tiba berteriak atau tertawa-tawa. Ia memang lelaki langka dan unik. Saya buatkan saja tulisan ini sebagai ucapan selamat datang kepada salah satu sahabat terbaik. “Selamat datang bang Gani…akhirnya turun gunung juga…he..he..” -n

*Untuk abang kami dr.Gani; Salam hormat dan rindu

Bunta Banggai, Ahad 25 April 2010

Kamis, 18 Maret 2010

Mengenang Lima Tahun Bencana Tsunami Aceh


Lima tahun adalah jarak yang relatif cukup panjang untuk sebuah kenangan, namun tetap saja, bila ia hadir kembali, terasa segala kenangan itu seperti masih sangat basah, sebasah tanah yang belum kering dibasuh tsunami atau basah aroma kesedihan yang menggenang kuat ketika tiba pertama kali ke tanah itu.

Perjalanan ke Aceh pasca tsunami lebih dari sebuah perjalanan biasa, ini adalah perjalanan spiritual secara pribadi, ada banyak pelajaran dan hikmah dari peristiwa maha dahsyat itu. Tak ada hati yang tak bergetar menyaksikan keadaan di sana kecuali hati itu benar-benar telah mati. Ini tentang ke dahsyatan kekuatan Tuhan, tentang keteguhan jiwa, juga tentang persaudaraan yang dibuktikan.

Bertanya pada anak-anak Aceh sedahsyat apa ketika petaka itu datang, cukuplah rasanya mereka mewakilkan kalimatnya, “ kami mengira pagi itu kiamat telah tiba”. Setelah tanah bergoyang kemudian sapuan gelombang tsunami tiba-tiba datang tanpa permisi, sekejap saja dalam gemuruh yang mengejutkan, pokok-pokok kayu patah, tiang-tiang sepakat bersujud, rumah dan gedung rata hanyut pergi jauh, jembatan rubuh dan menara-menara jatuh terpilin, siapakah yang lebih kuat dari itu. Setelah itu semua kemudian tersentak lagi pada kenyataan yang memilukan. Pada kehilangan yang dalam, saat semua pergi begitu cepat, hanya sekejap bahkan tak ada yang sempat berpamitan. Melihat sisa-sisa kejadian itu, bergetar dan mengakui ini hanyalah pekejaan Tuhan, kekuatan dahsyat yang tak tertandingkan.

Peristiwa ini Juga bertutur akan keteguhan jiwa, tentang kehilangan yang amat menguncang. Bapak yang ditinggalkan cinta dan kebanggaannya, sang istri dan anak-anaknya sekaligus, ibu yang kehilangan buah hatinya, dan anak yang bertahan dalam kesunyian hidupnya yang tiba-tiba karena ibu bapaknya pergi bersama tsunami entah kemana. Terkenanglah suatu sore di camp pengungsi Aceh Besar Gue gajah, ketika bertemu dengan seorang bapak yang berusaha memenangkan kesabaran dan berkuat untuk merapikan kembali sisa-sisa harapannya, saat tiba-tiba seluruh anggota keluarganya hilang, istri dan anak-anaknya, serta semua harta kepunyaanya, kemudian tersisa hanya ia sendiri. Ia memang lebih banyak diam, tapi ia juga tak ingin larut dalam kesedihan yang berlebih. Dan sang bapak tak menyerah, ia tak ingin rasa putus asa mengalahkan harapan dan imannya. Entah apakah kita sanggup sekuat itu?

Masih di tempat yang sama saat berbincang dengan seorang ibu, ia mengenang lagi, pagi itu ia sedang ke pasar membawa jajanan pisang gorengnya, ketika peristiwa itu terjadi dan semuanya berlangsung dengan sangat cepat, tiba-tiba, panik dan kacau balau, kemudian keajaibanlah yang membuat ia akhirnya bisa selamat dari amukan sang gelombang. Setelah itu tak pernah ia berjumpa lagi dengan anak-anaknya, dua minggu setelah tsunami waktu kami berbincang-bincang, setiap hari ia masih terus mencari-cari kabar dan tetap berharap ada berita baik yang membawa pesan tentang anak-anaknya. Meski kabar itu tak kunjung datang, namun ia tetap bersabar bahkan ia masih mampu meneguhkan dirinya, bahwa ia harus kuat, bukan hanya dirinya bahwa ada banyak yang lain sepertinya, masih lekat bagaimana ibu itu kemudian tersenyum diakhir penuturannya, justru sayalah yang menangis mendengar tuturnya yang menggetarkan. Mereka sungguh kuat.

Bahwa kemudian ada satu dua yang terpuruk dalam kesedihan, menyerah pada nasib, namun kenyataannya mereka dominan adalah orang-orang yang teguh meninggikan keyakinan. Sungguh percaya akan kebiksanaan Allah pada setiap keputusan-Nya. Berserah sepenuhnya pada rencana-Nya. Di sinilah sebuah kenyataan dimana kesabaran menemukan orang-orangnya.

Dan tak sekedar itu, bahwa peristiwa ini telah membangkitkan solidaritas kemanusiaan yang sungguh mengagumkan, mungkin belum pernah semangat persaudaraan tersentak sedemikian kuat dan begitu massif di negeri ini dari ujung negeri terjauh sampai di pelosok, bantuan mengalir begitu ringan, tanpa pikir panjang, dan tak dibatasi lagi oleh sekat suku, agama, dan warna kepentingan. Sampai kemudian bantuan menumpuk hingga berbulan-bulan di posko dan pelabuhan akibat begitu banyak bantuan yang terkumpul. Demikian juga relawan yang datang mencurahkan apa yang bisa diberikannya, dengan segala macam spesifikasi dan spesialisasinya. Jadilah kota-kota di Aceh saat itu seperti kota relawan, setiap arah kita memandang hampir selalu saja ada relawan berdiri di situ. Bila peristiwa ini adalah ujian akan ikatan dan rasa persaudaraan kita, artinya kita telah berhasil melampaui ujian dan membuktikan rasa itu, satu rasa satu penanggungan.

Demikianlah lima tahun telah berlalu namun setiap kenangan pada hari-hari itu masih saja terasa begitu dekat. Pada bocah-bocah bermata riang di tenda-tenda pengungsian yang belum mengerti sepenuhnya apa yang terjadi ketika berpesan dikirimkan baju pramuka saat kami berpamitan akan pulang, juga pada seorang ibu yang mohon dihadiahi sebuah nama untuk bayinya yang lahir dibawah tenda yang sungguh tak layak. Atau pada kenangan saat hadir berdiri di sisi pantai Lokh nga di sebuah pagi yang pilu, berdiri di antara reruntuhan dan jenazah yang belum dikubur. Angin di sana hening, entah ia turut bersedih atau mungkin juga hanya mengalun pelan berzdikir, bertasbih membelai pohon dan tiang-tiang yang rubuh bersujud mengalah. Dan pada semua ‘kekalahan’ itu terbaca terang kalimat Tuhan, bahwa sungguh tak ada yang berhak merasa besar selain-Nya, dan hanya kepada-Nya lah berserah dan kembali segala sesuatu.

“Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri ataupun terpaksa…” ( Al qur`an Surah Ar- Ra’d : 15)

Dan kini lima tahun pasca Tsunami, semoga Aceh kita telah jaya kembali.-n


“Sesungguhnya orang yang benar-benar percaya kepada ayat-ayat Kami adalah mereka yang apabila diperingatkan dengan ayat-ayat itu mereka segera bersujud seraya bertasbih dan memuji Rabbnya, dan lagi pula mereka tidaklah sombong.” (Al qur`an Surah As-Sajdah : 15)


Banggai, Awal Januari 2010.

Selasa, 09 Februari 2010

Catatan Perjalanan; Terhadang Pasukan Perang


Unik dan sedikit menegangkan pengalaman hari ini, pagi-pagi dalam perjalanan mobile clinic. Sepanjang jalan dekat sebuah wilayah menok (sebutan untuk masyarakat pribumi) suku Dani, orang-orang berkumpul, tak biasanya seperti ini. Sesaat kemudian mulai terlihat di sebuah perempatan, jalan terpalang yang di jaga petugas keamanan. Semakin dekat baru kemudian tersadar bahwa keadaan sedang tegang. Satu pasukan suku Dani lengkap dengan senjata panah sedang bersiap-siap untuk perang. Kepala suku sedang berorasi membakar semangat pasukannya. Ini pertama kali saya menyaksikan momen “heroik” seperti ini. Diikuti ritual mengaitkan jari tangan, entahlah mungkin itu sebagai simbol kesetiaan bertarung sampai akhir.

Dengan memberanikan diri, saya dan seorang kawan berjalan mendekat menuju pasukan siap tempur itu, berharap ada peluang untuk memperoleh bantuan aparat untuk lewat. Namun sepertinya aparat berkonsentrasi melakukan negosiasi dengan para sesepuh suku. Beruntung kemudian seseorang mendekati kami, lelaki tua dengan sebuah badik panjang, yang rupanya seorang pasien yang pernah kami tangani. Beliau yang kemudian langsung berbicara kepada panglima pasukan dan seorang tokoh suku bahwa kami adalah tim medis yang sedang bertugas yang akhirnya memberikan kami jaminan untuk melalui palang batas yang terpasang. Tak buang waktu kami segera berlalu sebelum mereka berubah pikiran, serta masih tersisa rasa khawatir kalau saja ada anak panah yang tiba-tiba tersesat salah alamat.

Saya teringat film-film kolosal zaman Troya atau kisah ksatria sahabat Rasul berabad-abad yang lalu. Pasukan itu terlihat begitu bersahaja memanggul panah-panah dan tombak. Sementara di luar sana, orang-orang telah ramai meributkan bom nuklir, senjata kimia dan biologis, bom curah dan rudal balistik interkontinental. Apakah saya tersedot lorong waktu menuju zaman berabad-abad yang lampau? Tapi pada kenyataannya saya benar-benar hadir di hari ini. Ada peradaban yang dikhianati waktu disini ditinggalkan dalam kebersahajaan yang paling melarat.

Namun satu yang membuat saya salut pada mereka, meskipun terlihat masih begitu primitif tapi mereka ternyata masih mempunyai komitmen dan penghargaan pada kemanusiaan. Buktinya mereka membolehkan kami sebagai tim medis melewati perbatasannya tanpa gangguan. Suatu hal yang sangat berbeda apa yang telah dilakukan sang bedebah Izrael yang terkenal mempunyai kehebatan dan kecanggihan sumber daya itu. Malah menghalangi serta menembaki para relawan kemanusiaan di perbatasan. Suatu tindakan tak beradab serta merupakan bentuk karakter primitive yang asli. Hingga saya bertanya, siapakah sebenarnya yang primitif?

Timika, Jumat 5 Juni 2009

Jazirah Raja-Raja: Mengenang Kembali


Hari yang luar biasa, ketika senja merapat dihantar rintik satu-satu, cahaya mentari yang sedang condong bersepakat dengan titik halus gerimis menghadiahi anak-anak pulau dengan sebuah pesona tak bercela, sebentuk pelangi. Sungguh mengagumkan sore itu, dari kejauhan di Pulau Tiga tampak lengkungan warna-warni memeluk negeri para raja-raja, Jazirah Leihitu Ambon.

Tiba-tiba terkenang lagi, ketika seorang kawan mengabarkan bahwa hari ini ia akan bertolak kembali ke kota itu, Ambon. Dan ingin kupenuhi janji padanya untuk menuliskan sedikit kenangan tentang tanah itu. Pengalaman pertama selalu berkesan, itulah sebabnya begitu banyak kenangan di sana. Tanah yang pertama kali manadah kerja dan pengabdian yang tentu tak seberapa, tanah yang mengajarkan pelajaran-pelajaran kehidupan. Tanah yang menyuguhkan pesona budaya dan keindahan alam.

Kuteguhkan langkah untuk memulai perjalanan waktu itu. Dan tepat ketika matahari menjenguk pagi, keemasan cahaya di ketinggian langit saat terlihat pertama kali tanah itu dari udara, sebuah tanah yang hijau di kawal pulau-pulau dibingkai garis putih pasir pantai disekelilingnya. Ini menjadi awal kekaguman yang tak pernah selesai akan keindahan tanah itu. Bila siang hari , dari bukit-bukit Batu Merah terlihat tak jauh di bawah sana teluk Ambon yang tenang, bila malam tiba, anak-anak disini seolah bisa memetik rembulan, Juga tampak Kuda Mati seperti pohon natal raksasa, setiap malam seperti ada pesta di depan Al-fatah dan Ai Paty, semua tersaji dari suwami (penganan dari ubi yang dihaluskan dan di kukus) dan ikan asar sampai gelang besi putih serta minyak wangi digelar hingga larut.

Berjalan ke utara melintas di Durian Patah melewati jalan berkelok di puncaknya terlihat tanah besar diseberang, Pulau Seram. Bersua dengan negeri raja-raja dan para kapitan, bejejer-jejer di sini kampung-kampung tua dengan adat yang masih dipegang teguh, tersebutlah Jazirah Leihitu yang masyhur itu; Negeri Mamala, Morela, Hitu, Wakal, Hila, Negeri Lima, Ureng, Asilulu, dan yang lainnya. Negeri pesisir yang mempesona, diatasnya punggung bukit dengan pohon Pala berbaris-baris, sementara di sisinya yang lain, nyiur melambai-lambai dirayu angin dan belaian ombak. Pengaruh budaya Islam kuat terasa di sini, dari rumah tua lating batu dan lating gaba-gaba terdengar semarak suara rebana bernuansa timur tengah diiringi anak-anak berlatih tarian zamrah. Sebuah Mesjid Tua mungil nan kharismatik yang menjadi situs bersejarah di bangun tahun 1414 M, menuturkan Islam telah begitu lama hadir di nusantara.

Dan sebuah kesan yang begitu kuat dari perjalanan di tanah ini, adalah tentang gelora dan semangat yang unik. Masih segar dalam ingatan tentang peristiwa konflik bernuansa sara empat tahun lamanya, menjadi pelajaran berharga bagi orang-orangnya. Inilah yang terasa amat kuat, saat berinteraksi dengan mereka, para pelaku aksi-aksi kemuliaan, pembela izzah dan kehormatan darah serta iman. Sekian banyak dari mereka anak muda hingga para sepuh bersepakat, bahwa peristiwa berdarah itu adalah kemuliaan bagi tanah mereka, terpilih sebagai bumi jihad. Hari-hari yang panas itu telah mendidik mereka menjadi pemberani yang sesungguhnya. Mereka menertawakan kepengecutan sebagaimana jiwa khianat dikubur mati tanpa syarat. Hari itu cuma satu kalimat; isy kariman au mut syahidan (hidup dalam kemuliaan atau mati sebagai syuhada)

Maka ku sempatkan hadir juga, berdiri takzim di depan pusara para syuhada, ditemani para sahabat yang bertutur tentang nostalgia hari itu, saat barisan bershaf-shaf seperti benteng yang kokoh, saat takbir, tilawah dan dzikir susul meyusul dengan dentuman bom dan nyayian peluru. Tutur yang begitu bertenaga dan mengetarkan, tentang persaudaraan, tentang wangi darah, tentang takdir dan pertolongan Tuhan, tentang kematian yang indah. Berkali-kali kemudian hadir kembali ditempat itu, bersama sahabat-sahabat yang sama, mereka telah menitipkan sebuah pelajaran berharga, mengajarkan untuk tak lagi canggung untuk meminang cita-cita dalam doa; (Allahummarzuqna asy syahaadata fii sabiilika – Ya Allah karuniakanlah kepada kami syahid di Jalan-Mu)...Amin.

Papua, Mei 2009

- Salam buat kru klinik MER-C Ambon dan para ikhwah - Salam buat dr A. Tasrif dan kelurga serta kawan-kawan semua di RS Al-Fatah Ambon. - Salam buat dr Caki, dr Ika, dr Novi